Beranda | Artikel
Bertahap Dalam Pengharaman Di Dalam Syariat
Minggu, 21 April 2019

BERTAHAP DALAM PENGHARAMAN DI DALAM SYARI’AT

Oleh
Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc MA

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا ۗ وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

Mereka bertanya kepadamu tentang khamer (miras) dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian berfikir. [Al-Baqarah/2:219]

TAFSIR RINGKAS
Dahulu, orang-orang Arab di masa Jahiliyah meminum khamer (miras) dan berjudi. Kemudian Islam dating dan mereka mulai didakwahi agar bertauhid dan beriman kepada hari kebangkitan. Kedua hal ini adalah penggerak (motivasi) yang kuat dalam kehidupan. Ketika Rasul n berhijrah bersama sejumlah Sahabat Beliau ke Madinah, mereka mulai membentuk masyarakat islami dan hukum-hukum (syariat) pun mulai diturunkan sedikit demi sedikit.

Pada suatu hari ada kejadian, seorang Sahabat mengimami jamaah dan dia dalam keadaan mabuk sehingga bacaannya bercampur aduk. Kemudian turunlah ayat, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati shalat dalam keadaan kalian mabuk!” Sejak peristiwa itu, mereka tidak lagi meminumnya kecuali pada waktu-waktu tertentu saja.

Kemudian banyak yang bertanya-tanya tentang (hukum) meminum khamer, lalu diturunkanlah ayat yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang khamer (miras) dan judi.” Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab oleh Allâh Azza wa Jalla dengan firman-Nya, yang artinya, “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada  manfaatnya.”

Kemudian banyak Sahabat meninggalkan kedua perbuatan tersebut, meminum khamer (miras) dan bermain judi karena ayat ini.

Namun tersisa sebagian Sahabat (yang masih melakukannya). Kemudian ‘Umar Radhiyallahu anhu sangat berharap agar keduanya dilarang tanpa pengecualian dan dia berkata, “Ya Allâh! Jelaskanlah kepada kami penjelasan yang sempurna di dalam sebuah kabar.” Allâh Azza wa Jalla mengabulkan doanya dan turunlah ayat-ayat dalam surat Al-Mâ-idah, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamer (miras) dan judi … “ sampai kepada “… Tidakkah kalian berhenti?”  [Al-Mâ-idah/5:90-91]

Setelah itu, Umar Radhiyallahu anhu mengatakan, “Kami berhenti, wahai Rabb kami.”

Dengan demikian diharamkan khamer dan juga judi dengan pengharaman yang sempurna dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan hukuman hadd untuk khamer, yaitu dicambuk. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan akan bahaya meminumnya dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallammenamainya dengan Ummul-khabâ-its (induk dari segala perbuatan keji) …

“Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia” Dan dia sebagaimana disebutkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an surat al-Mâ-idah bahwa itu merupakan sebab dari dosa. Karena keduanya menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara kaum Muslimin. Kedua perbuatan buruk itu juga menghalangi orang dari mengingat Allâh dan menghalangi orang dari shalat.

Adakah dosa yang lebih besar daripada dosa menanamkan kebencian dan permusuhan di antara individu-individu kaum Muslimin dan memalingkan dari mengingat Allâh dan mendirikan shalat? Sungguh ini adalah dosa besar.

Sedangkan yang terkait manfaat yang sedikit dari dua perbuatan buruk ini, di antaranya adalah mendapatkan keuntungan dari perniagaan khamer (miras) dan pembuatannya, termasuk juga apa yang dirasakan oleh orang yang meminumnya berupa rasa lapang, senang dan berani. Adapun judi, di antara manfaatnya adalah bisa mendapatkan harta dengan mudah tanpa bersusah payah dan tidak terlalu letih. Juga sebagian orang-orang miskin bisa mendapatkan manfaatnya ketika para pemain judi itu menjadikan onta sebagai taruhan, kemudian onta tersebut disembelih dan diberikan kepada orang-orang fakir dan miskin.

Adapun firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.”

Pertanyaan ini muncul karena mereka ingin menjalankan firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Dan berinfaklah di jalan Allâh!”[1] Mereka ingin mengetahui berapa bagian harta yang mereka infakkan di jalan Allâh. Kemudian Allâh Azza wa Jalla menjawab pertanyaan mereka dengan firman-Nya, yang artinya, “Katakanlah, ‘Yang lebih dari keperluan.’ Maksudnya adalah yang mereka infakkan yaitu harta yang lebih dari hajat kalian dan nafkah untuk diri-diri kalian…

Dan firman Allâh, yang artinya, “Demikianlah Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian berfikir.” … Allâh Azza wa Jalla menerangkan kepada kalian hukum-hukum syariat dan permasalahan halal-haram untuk membekali kalian agar kalian bisa berpikir dengan penuh kesadaran dalam memandang urusan dunia dan akhirat, sehingga kalian beramal untuk dunia kalian sesuai hajat kalian di dunia dan kalian beramal untuk akhirat kalian yang merupakan tempat kembali kalian dan kekekalan kalian di dalamnya juga tergantung amalan tersebut.[2]

PENJABARAN AYAT
Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا 

Mereka bertanya kepadamu tentang khamer (miras) dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’

Apakah di dalam ayat ini terdapat pengharaman meminum khamer dan judi?

Banyak yang menyangka bahwa ayat ini adalah ayat yang menunjukkan pengharaman khamer dan judi, padahal tidak. Ayat ini adalah ayat yang diturunkan sebelum ayat pengharaman keduanya. Pada ayat ini, terdapat teguran kepada orang-orang yang beriman agar mereka menimbang kebaikan dan keburukan yang terjadi jika mereka meminum khamer atau berjudi. Pengharamannya disebutkan di ayat yang lain yang insyaAllâh akan dijelaskan.

SEBAB TURUNNYA AYAT
Ayat ini memiliki sebab turun, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu , dia berkata:

لَمَّا نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ ، قَالَ : اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا ، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ الَّتِي فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ : {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ} ، قَالَ : فَدُعِيَ عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ ، فَقَالَ : اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شِفَاءً ، فَنَزَلَتِ الآيَةُ الَّتِي فِي سُورَةِ النِّسَاءِ : {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى} فَكَانَ مُنَادِي رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَقَامَ الصَّلاةَ نَادَى : أَنْ لاَ يَقْرَبَنَّ الصَّلاةَ سَكْرَانُ فَدُعِيَ عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ ، فَقَالَ : اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شِفَاءً ، فَنَزَلَتِ الآيَةُ الَّتِي فِي الْمَائِدَةِ ، فَدُعِيَ عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ ، فَلَمَّا بَلَغَ {فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ} قَالَ : فَقَالَ عُمَرُ انْتَهَيْنَا انْتَهَيْنَا.

Ketika diturunkan pengharaman khamer, beliau Radhiyallahu anhu berkata, ‘Ya Allâh! Berilah kepada kami penjelasan yang sempurna tentang khamer!’ Kemudian turunlah ayat yang terdapat di dalam surat al-Baqarah, ‘Mereka bertanya kepadamu tentang khamer (miras) dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ Kemudian Umar Radhiyallahu anhu dipanggil dan dibacakanlah ayat tersebut kepadanya. Kemudian beliau berkata lagi, ‘Ya Allâh! Berilah kepada kami penjelasan yang sempurna tentang khamer!’ Lalu turunlah ayat yang terdapat di dalam surat an-Nisa’, yang artinya, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.’ Setelah itu pelayan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meneriakkan ketika hendak dikerjakan shalat, ‘Jangan ada orang mabuk yang mendekati shalat (berjamaah)!’ Kemudian dipanggillah ‘Umar dan dibacakanlah ayat tersebut kepadanya. Kemudian beliau berkata lagi, ‘Ya Allâh! Berilah kepada kami penjelasan yang sempurna tentang khamer!’ Kemudian turunlah ayat yang terdapat di dalam surat al-Mâ-idah. Kemudian dipanggillah ‘Umar dan dibacakanlah ayat tersebut kepadanya. Ketika sampai kepada perkataan Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, ‘tidakkah kalian berhenti?’ Umar Radhiyallahu anhu berkata, ‘Kami telah berhenti. Kami telah berhenti.’”[3]

PENGHARAMAN DI DALAM SYARI’AT DILAKUKAN SECARA BERTAHAP
Proses pengharaman khamer (miras) dilakukan melalui empat tahapan, yaitu:

1. Di awal Islam ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Makkah, khamer (miras) masih dihalalkan atau dibiarkan, sebagaimana tercantum di dalam ayat ke-67 dalam surat an-Nahl. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Dan dari buah kurma dan anggur, kalian buat minimuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allâh) bagi orang yang memikirkan.[An-Nahl/16:67]

2. Setalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah dan terbentuk masyarakat yang dipimpin oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Umar bin al-Khaththab dan Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhuma meminta agar dijelaskan hukum khamer (miras), sehingga turunlah ayat yang sedang kita bahas ini, yaitu ayat ke-219 dalam surat al-Baqarah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

Mereka bertanya kepadamu tentang khamer (miras) dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. [Al-Baqarah/2:219]

Setelah turun ayat ini banyak Sahabat yang meninggalkan khamer (miras) karena takut dosa yang disebutkan pada ayat tersebut, tetapi sebagian Sahabat masih meminumnya karena ada lafaz ‘dan beberapa manfaat bagi manusia,’ yang menunjukkan itu tidak diharamkan secara mutlak dan masih memiliki manfaat.

3. Kemudian terjadi suatu peristiwa, ketika itu ‘Abdurrahman bin ‘Auf Radhiyallahu anhu mengundang orang-orang makan di tempatnya. Ketika itu, sebagian Sahabat makan lalu meminum khamer (miras) yang menyebabkan mereka mabuk. Setelah itu, datanglah waktu shalat dan salah seorang dari mereka menjadi imam dan salah dalam membaca ayat. Si imam membaca surat al-Kâfirûn dengan:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2)

“Wahai orang-orang kafir! Saya menyembah apa yang kalian sembah.”

Seharusnya bacaan yang benar:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ﴿١﴾ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

Katakanlah, “Wahai orang-orang kafir! Saya tidak menyembah apa yang kalian sembah.” [Al-Kâfirûn/109:1-2]

Setelah kejadian itu turunlah ayat ke-43 dalam surat An-Nisa’:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. [An-Nisa’/4:43]

Setelah itu, sebelum shalat, orang yang diamanahi oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberi pengumuman selalu memberikan peringatan kepada siapapun agar tidak mendekati shalat berjamaah jika dalam keadaan mabuk. Mendengar peringatan ini, para Sahabat pun khawatir jika tidak bisa shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhirnya, orang-orang yang masih minum khamer (miras) mencari waktu yang cocok untuk meminumnya, yaitu setelah shalat ‘Isyâ’ dan setelah shalat Shubuh, sehingga ketika datang waktu shalat Shubuh dan Zhuhur, mereka yang meminum khamer (miras) sudah tidak dalam keadaan mabuk lagi.

4. Kemudian terjadi peristiwa lain, ‘Itban bin Malik Radhiyallahu anhumengundang sebagian Sahabat untuk makan-makan, di antara mereka ada Sa’d bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu. Mereka pun makan dan minum khamer (miras), sehingga mereka mabuk. Dalam keadaan mabuk, mereka saling membanggakan nasab mereka dan saling melagukan nasyid-nasyid dari syair-syair. Kemudian Sa’d bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu menyebutkan syair yang di dalamnya ada hinaan terhadap orang-orang Anshâr dan ada pembanggaan terhadap kaumnya Sa’d. Mendengar itu, salah seorang dari kalangan Anshâr berdiri dan menarik jenggot atau tulang onta dan memukul Sa’d dengannya yang mengakibatkan kepala beliau terluka. Lalu Sa’d z mengadukan hal tersebut kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ternyata lelaki yang memukul Sa’d Radhiyallahu anhu juga mengadukan peristiwa itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla agar Allâh Azza wa Jalla menurunkan penjelasan yang sempurna tentang khamer (miras). Kemudian diturunkanlah ayat ke-90 dan ayat ke-91 dalam surat al-Mâ-idah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٩٠﴾ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamer (miras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamer (miras) dan berjudi itu, sehingga menghalangi kalian dari mengingat Allâh dan dari shalat. Apakah kalian berhenti (dari mengerjakan pekerjaan itu)? [Al-Mâ-idah/5:90-91]

Ini terjadi beberapa hari setelah perang Ahzâb. Umar Radhiyallahu anhu pun berkata, ‘Kami berhenti, ya  Rabb.’ Anas bin Malik Radhiyallahu anhu mengatakan, ‘Setelah diharamkan khamer (miras), pada hari itu orang Arab tidak pernah merasakan kehidupan yang begitu menakjubkan dibanding ketika khamer (miras) (masih diminum). Tidak ada sesuatu yang haram yang lebih berat untuk mereka tinggalkan selain khamer (miras).”[4]

Demikian juga proses pengharaman judi dan riba, penetapan kewajiban mengenakan jilbab, penerapan hukum-hukum kriminal seperti zina dan lain-lain dilakukan secara bertahap. Ini semua memperhatikan berbagai macam hal seperti kebiasaan masyarakat yang sudah “mendarah daging”, pertimbangan terhadap apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, pertimbangan maslahat dan mafsadat, dll.

PENTINGNYA MENIMBANG ANTARA MASLAHAT DAN MAFSADAT DI DALAM SYARIAT ISLAM
Jika kita memperhatikan firman Allâh Azza wa Jalla pada ayat yang sedang kita bahas ini, yaitu:

قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا 

Katakanlah: ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’

Kita akan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, bahwa di dalam setiap tindakan kita harus memperhatikan dan mempertimbangkan maslahat (kebaikan) dengan mafsadat (kerusakan/bahaya) yang akan terjadi. Dengan diharamkan khamer (miras) secara bertahap kita bisa memahami akan keindahan syariat yang Allâh Azza wa Jalla turunkan kepada para hamba-Nya.

Di dalam menimbang maslahat dan mafsadat para Ulama telah membuat kaidah-kaidah berkaitan dengannya. Pembahasan mengenai kaidah-kaidah tersebut, penjelasannya dan ketentuan-ketentuannya serta contoh penerapannya bisa didapatkan dalam kitab-kitab al-Qawâ-‘id al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah Fikih).

Ketika turun ayat yang sedang kita bahas ini, para Sahabat yang memiliki pemahaman yang baik terhadap Islam dan kaidah-kaidah mengetahui bahwa ini adalah bentuk larangan dari Allâh Azza wa Jalla yang dinyatakan tidak dengan langsung (ghairu sharîh), sehingga banyak di antara mereka yang tidak lagi meminum khamer (miras), tetapi mereka belum bisa memaksa para Sahabat lain yang masih kecanduan untuk meninggalkan khamer (miras).

Syaikh Muhammad Rasyid bin Ali Ridha rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya ayat dalam surat al-Baqarah menunjukkah bahwa proses pengharaman dilakukan sesuai kaidah yang dikenal di kalangan para Ulama ahli fiqh. Maksudnya, proses pengharaman dilakukan dengan lebih mendahulukan (menghindari) mafsadat (kerusakan atau bahaya) daripada (meraih atau mewujudkan) maslahat (kebaikan), sehingga dikuatkan (menghindari) bahaya di dalamnya daripada manfaatnya. Ayat tersebut menyatakan penguatan tersebut pada khamer (miras) dan judi “tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” Ini dipahami oleh para Sahabat tertentu saja, sehingga mereka meninggalkan keduanya, tetapi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membebankan kepada seluruh kaum Muslimin untuk meninggalkan keduanya kecuali setelah turun ayat di dalam surat al-Mâ-idah yang merupakan dalil pasti (sangat jelas) tentang pengharamannya yang tidak membutuhkan penafsiran lain. Karena ayat tersebut menyebutkan bahwa dia adalah kotor, termasuk perbuatan syaitan dan dengan jelas menyebutkan perintah agar menjauhinya. Ini adalah bentuk perintah yang paling kuat agar meninggalkan kedua hal tersebut.

Tidak ada satu permasalah pun yang disebutkan dalam al-Qur’an dengan lafaz yang tidak tegas dalam pendalilan, kecuali di dalamnya ada hikmah mengapa tidak langsung dijelaskan. Para ahli hikmah di kalangan para Ulama telah menjelaskan hikmah tersebut terkait khamer (miras) dan judi.

Sesungguhnya besarnya fitnah yang terjadi di antara manusia terkait khamer (miras) dan judi, menyebabkan mereka sangat susah untuk meninggalkannya sekaligus. Sehingga sebagian orang-orang yang beriman yang lemah imannya akan mencari uzur untuk tidak meninggalkannya. Begitu pula akan sangat susah ditinggalkan oleh sebagian mereka, sehingga orang-orang selain Islam akan lari dari agama Islam.

Di antara hikmah dan rahmat dari Allâh adalah mengharamkannya secara bertahap, terlebih lagi berkaitan dengan khamer (miras). Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat yang berisi agar meninggalkan khamer (miras) pada sebagian besar siang dan awal dari malam. Sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan!”

Maka lihatlah tafsiran yang sangat bagus di dalam surat an-Nisa’ dan Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat yang dipahami keharamannya oleh ahli ilmu yang beriman kuat, sehingga dia meninggalkannya di setiap waktu, yaitu ayat dalam surat al-Baqarah, kemudian setelah beberapa tahun Allâh l jelaskan dengan tegas untuk meninggalkannya.”[5]

PENTINGNYA MENGETAHUI KEADAAN ORANG YANG DIDAKWAHI KETIKA BERDAKWAH
Di antara bentuk hikmah di dalam berdakwah adalah mengetahui keadaan orang yang didakwahi sehingga seorang da’i dapat menyampaikan kepada orang yang didakwahinya nasihat dan pelajaran yang tepat untuknya. Seorang da’i tidak boleh tergesa-gesa dalam menyampaikan seluruh syariat, tetapi dia harus menimbang antara maslahat dan mafsadat dan menggunakan cara yang tepat untuk menyampaikannya.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma mengatakan:

إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنَ الْمُفَصَّلِ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الإِسْلاَمِ نَزَلَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ لاَ تَشْرَبُوا الْخَمْرَ لَقَالُوا لاَ نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَدًا وَلَوْ نَزَلَ لاَ تَزْنُوا لَقَالُوا لاَ نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا لَقَدْ نَزَلَ بِمَكَّةَ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ {بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ} وَمَا نَزَلَتْ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَالنِّسَاءِ إِلاَّ وَأَنَا عِنْدَهُ قَالَ فَأَخْرَجَتْ لَهُ الْمُصْحَفَ فَأَمْلَتْ عَلَيْهِ آيَ السُّوَرِ.

… Sesungguhnya yang pertama kali turun darinya (al-Qur’an) adalah surat dari al-Mufashshal (ayat-ayat pendek). Di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka, sampai ketika manusia berbondong-bondong masuk Islam, diturunkanlah tentang halal dan haram. Seandainya yang pertama kali diturunkan adalah ‘janganlah kalian minum khamer (miras),’ maka mereka akan berkata, ‘kami tidak akan meninggalkan khamer (miras) selamanya,’ Seandainya diturunkan ‘janganlah kalian berzina,’ maka mereka akan berkata, ‘kami tidak akan meninggalkan zina selamanya.” Dan ketika diturunkan (ayat): ‘Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit’ di Mekkah kepada (Nabi) Muhammad n saya adalah gadis kecil yang suka bermain. Dan tidaklah diturunkan surat al-Baqarah dan an-Nisa’ kecuali saya berada di sisi beliau… .[6]

APA YANG DIMAKSUD DENGAN KHAMER (MIRAS) DAN APA BATASANNYA?
Meskipun ayat ini tidak berisi pengharaman khamer (miras) secara mutlak, penulis rasa sangat penting untuk menyebutkan dalil-dalil lain tentang pengharaman khamer (miras), di antaranya adalah sebagai berikut:

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِى الدُّنْيَا فَمَاتَ وَهُوَ يُدْمِنُهَا لَمْ يَتُبْ لَمْ يَشْرَبْهَا فِى الآخِرَةِ

Setiap yang memabukkan adalah khamer (miras) dan setiap khamer (miras) adalah haram. Barangsiapa meminumnya di dunia kemudian dia meninggal dalam keadaan dia kecanduan terhadapnya dan belum bertaubat, maka dia tidak akan meminumnya di akhirat.[7]

Begitu pula sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ

Setiap yang memabukkan jika dia banyak, maka sedikitnya juga haram.[8]

Dari kedua hadits di atas kita bisa pahami bahwa yang dimaksud dengan khamer (miras) adalah segala sesuatu yang bisa memabukkan, meskipun dia tidak ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dengan demikian, minuman-minuman keras yang memabukkan yang terbuat dari berbagai macam bahan, seperti: beras, ketan, gandum, aren, jambu monyet, wortel putih, pisang, lidah buaya dan lain-lain, hukumnya juga haram.

Dari hadits yang kedua kita juga memahami bahwa khamer (miras) walaupun sedikit dan tidak memabukkan hukumnya tetap haram.

Di dalam hukum Islam apabila pemerintah mendapatkan seseorang mabuk karena meminum khamer (miras), maka dia dihukum dengan 40 kali cambukan. Hal ini disebutkan oleh Anas bin Malik z , beliau berkata:

أُتِىَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَجَلَدَهُ بِجَرِيدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِينَ

Didatangkan (kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) seorang lelaki yang telah meminum khamer (miras), beliau pun mencambuknya dengan dua dahan kurma sekitar 40 (cambukan)[9]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ

Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’

Jumhur mufassirin (ahli tafsir) menyatakan bahwa arti (العَفْو) pada ayat di atas berarti kelebihan dari apa yang dibutuhkan oleh seseorang. Ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar g dan juga Mujahid, Atha’, ‘Ikrimah, Said bin Jubair, Muhammad bin Ka’b, al-Hasan, Qatadah, al-Qasim, Salim, ar-Rabi’ bin Anas rahimahumullah dan yang lainnya.

Ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam beberapa hadits, di antaranya adalah sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu a nhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

Sebaik-baik sedekah adalah yang berlebih dari kebutuhan[10] dan mulailah dari orang yang engkau tanggung.[11]

Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dia berkata:

أَمَرَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدِى دِينَارٌ. فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ. قَالَ: عِنْدِى آخَرُ. قَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ. قَالَ: عِنْدِى آخَرُ. قَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ. أَوْ قَالَ: زَوْجِكَ. قَالَ: عِنْدِى آخَرُ. قَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ. قَالَ: عِنْدِى آخَرُ. قَالَ: أَنْتَ أَبْصَرُ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh untuk bersedekah. Kemudian seorang lelaki berkata, ‘Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya saya memiliki satu dinar.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Bersedekahlah dengannya untuk dirimu sendiri!’ Dia berkata lagi, ‘Saya punya (satu dinar) yang lain.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda lagi, ‘Bersedekahlah dengannya untuk anakmu.’ Kemudian dia berkata lagi, ‘Saya punya (satu dinar) yang lain.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan, ‘Bersedekahlah dengannya untuk istrimu.’ Dia berkata lagi, ‘Saya punya (satu dinar) yang lain.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata lagi, ‘Bersedekahlah dengannya untuk pembantumu.’ Kemudian dia berkata lagi, ‘Saya punya (satu dinar) yang lain.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Kamu lebih mengetahuinya.’.”[12]

Pada kedua hadits di atas kita dapat memahami bahwa seseorang harus mendahulukan nafkah untuk dirinya sendiri dan orang-orang yang ditanggungnya, barulah dia menyedekahkan kelebihan hartanya untuk orang lain.

Banyak orang yang tidak tahu bahwa memberi nafkah kepada keluarganya sendiri termasuk sedekah yang paling utama apabila dia niatkan hanya untuk mengharap wajah Allâh Azza wa Jalla .

Diriwayatkan dari Abu Mas’ud al-Badri Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwasanya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا أَنْفَقَ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةً وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً

Sesungguhnya seorang Muslim jika berinfak suatu nafkah kepada keluarganya dan dia mengharapkan pahalanya, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah.[13]

Begitu pula di dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

Satu dinar yang engkau infakkan di jalan Allâh, satu dinar yang engkau untuk seorang budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, satu dinar yang engkat infakkan kepada keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah yang engkau infakkan kepada keluargamu.[14]

Jika dia termasuk amal ibadah, maka untuk bisa diterima oleh Allâh Azza wa Jalla , dia harus berniat untuk beribadah, bukan hanya sekedar melaksanakan kewajiban.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

Demikianlah Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian berfikir

 Setidaknya para Ulama menafsirkan potongan ayat ini dengan dua tafsiran, yaitu:

  1. Allâh Azza wa Jalla menjelaskan kepada kalian ayat-ayat yang berkaitan dengan nafkah agar kalian berpikir di dunia dan di akhirat, sehingga kalian bisa menyimpan sebagian harta kalian untuk hal-hal yang bisa bermanfaat untuk kehidupan dunia dan kalian menginfakkan yang tersisa untuk hal-hal yang bermanfaat untuk akhirat kalian.
  2. Seperti itulah Allâh l menjelaskan kepada kalian ayat-ayat tentang urusan dunia dan akhirat agar kalian berpikir tentang dunia, dia akan lenyap dan sirna, sehingga kalian bisa berzuhud terhadap dunia dan kalian bisa berpikir untuk menuju akhirat dan kekekalannya, sehingga kalian mengharapkannya.

Ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Baghawi dan Imam al-Qurthubi di dalam tafsir mereka.[15]

KESIMPULAN

  1. Proses pengharaman khamer (miras) dan judi dilakukan secara bertahap. Begitu juga beberapa syariat yang lain.
  2. Setiap bertindak kita harus memperhatikan dan mempertimbangkan maslahat (kebaikan) dengan mafsadat (kerusakan/bahaya) yang akan terjadi dalam semua tindakan yang kita lakukan.
  3. Seorang da’i tidak boleh tergesa-gesa dalam menyampaikan seluruh syariat, tetapi dia harus menimbang antara maslahat dan mafsadat dan menggunakan cara yang tepat untuk menyampaikannya.
  4. Khamer (miras) adalah segala sesuatu yang bisa memabukkan. Khamer (miras) walaupun sedikit dan tidak memabukkan hukumnya tetap haram.
  5. Sebaik-baik sedekah adalah yang dilakukan setelah memiliki kelebihan dari kebutuhan dan sedekah dimulai dari orang yang tanggung kehidupannya.
  6. Allâh Azza wa Jalla menyuruh kita untuk selalu berpikir terhadap ayat-ayat-Nya untuk kebaikan dunia dan akhirat kita.

Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat dan mudahan Allâh Azza wa Jalla menjauhkan dan menghindarkan kita dari segala fitnah syubhat dan syahwat selama kita menjalani kehidupan di dunia ini. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Aisarut-Tafâsîr li Kalâm ‘Aliyil-Kabîr wa bi Hâmisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafâsî Jâbir bin Musa Al-Jazaairi. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm Wal-Hikam.
  2. Al-Jâmi’ Li AhkJâmil-Qur’Jân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
  3. Al-MinhJâj Syarhu Shahîh Muslim bin al-HajjJâj. Tahqiq: Khalil Ma’mun Syihaa. 1427 H/2006. Beirut: Darul-Ma’rifah.
  4. Ma’Jâlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’uud Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
  5. Tafsîr al-Qur’ân Al-‘Adzhiim. Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
  6. Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (Tafsiir Al-Manaar). Muhammad Rasyid bin ‘Ali Ridha. Mesir: Al-Haiah Al-Mishriyah Al-‘Ammah Lil-Kitab.

Dan lain-lain, sebagian besar sudah dicantumkan di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XXI/1439H/2018M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Al-Baqarah/2: 195.
[2] Aisar At-Tafâsîr, hlm. 111-112.
[3] HR Ahmad no. 378 dan An-Nasai no. 5540. Dan ini adalah lafaz Ahmad. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dkk menghukumi sanadnya shahiih.
[4] Lihat penjelasan di atas di Tafsîr Al-Baghawi I/249-250.
[5] Tafsîr al-Manâr IX/137.
[6] HR. Al-Bukhâri no. 4993.
[7] HR. Muslim no. 2003/5218.
[8] HR Abu Dawud no. 3683, At-Tirmidzi no. 1865 dan Ibnu Majah no. 3393 dari Jabir bin ‘Abdillah. Hadiits ini dinyatakan shahiih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahiih Ibni Maajah no. 3384. Hadiits ini memiliki Syaahid dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[9] HR Muslim no. 1706/4452.
[10] Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Maknanya adalah se-afdhal-afdhal sedekah adalah sedekah yang setelah seorang bersedekah dia masih tercukupi dengan apa yang tersisa padanya dan bisa memenuhi maslahat-maslahat dan kebutuhan-kebutuhannya. Ini menjadi sedekah yang paling utama bila dibandingkan dengan orang yang bersedekah dengan seluruh hartanya, karena orang yang mensedekahkan seluruh hartanya kebanyakan dia menyesal atau terkadang dia menyesal jika dia membutuhkannya dan dia berharap kalau tadinya dia tidak bersedekah. Ini berbeda dengan orang yang menyisakan kecukupan setelah dia bersedekah, maka dia tidak menyesali sedekahnya, bahkan dia akan senang dengan sedekahnya tersebut.” (Syarh Shahih Muslim Lin-Nawawi VII/126)
[11] HR. Al-Bukhâri no. 1426 dan 5356 dan Muslim no. 1034/2386. Ini adalah lafaz al-Bukhâri.
[12] HR Ahmad no. 7419, Abu Dawud no. 1693 dan An-Nasai no. 2535. Hadiits ini dinyatakan shahiih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahiih Sunan Abi Daawuud.
[13] HR Muslim no. 1002/2322.
[14] HR Muslim no. 995/2311.
[15] Lihat Tafsîr al-Baghawi I/254 dan Tafsîr Al-Qurthubi III/62.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/11474-bertahap-dalam-pengharaman-di-dalam-syariat.html